Monday, December 1, 2008

Pupuk, tani, dan partai

Sampai sekarang, kenapa musim yang satu ini masih saja ada, musim petani butuh pupuk, pasti bareng dengan musim pupuk langka.


Jumlah pupuk kurang? Dilihat dari sudut manapun statement itu salah total. Jumlah pupuk kita melimpah. Logika saja, pabrik pupuk ada banyak, dan Indonesia jadi Negara agraris bukan sebulan dua bulan.

Sejak krisis global kemarin, daya beli untuk pupuk ini menurun, jadi demand pun menurun drastis. Demand menurun sementara supply tetap, maka terjadilah, harga pupuk di pasaran dunia menurun tajam.

Sementara itu, harga ekspor pupuk Indonesia masih diatas harga rata rata ekspor asean. contohnya malaysia dan thailand yang mengimpor pupuk dari indonesia, china, dan australia. Mereka mematok harga terendah US$250-300/MT(metrik ton). Sementara harga export perusahaan pupuk yang dipatok oleh pemerintah adalah US$500-550/MT. alasannya karena pemerintah baru bisa nego harga bahan baku urea januari nanti, jadi harga belum bisa diturunkan. logikanya, pupuk Indonesia tidak mampu bersaing harga dengan yang lain, akhirnya tidak ada yang beli, permintaan pupuk berkurang sedangkan produksi jalan terus. stok pupuk di dalam negeri melimpah ruah.

pupuk

Jadi masalahnya adalah di distribusi. Pak mantri urusan pertanian pernah bilang ada yang salah dalam pengamanan distribusi, tapi sampai sekarang masih saja tidak ada tindak lanjutnya. Kelangkaan masih saja terjadi, semua yang terlibat distribusi ikut bermain mencari keuntungan pribadi dengan praktek penimbunan.

Bahkan kabar terbaru pemerintah akan menambah lagi 300ribu ton untuk operasi pasar, buat apa? Selama distribusinya masih seperti ini, ditambah berapapun sama saja, akan tertimbun di para tengkulak setan setan desa.

Selain itu, bedanya pupuk urea subsidi dan non subsidi itu hanya di karung, isinya nyaris sama (berdasarkan info dari seorang kawan yang cukup lama mengamati hal ini). Pupuk subsidi hanya untuk pertanian, sedangkan non subsidi untuk perkebunan dan industri. Sedangkan selisih harga keduanya cukup jauh, terjadilah masalah klasik disparitas harga dan distribusi. Petani pun akan berfikir lebih baik menjual pupuknya yang bersubsidi ke perkebunan besar atau industri karena keuntungannya lebih besar daripada digunakan untuk memupuk sawahnya sendiri.

Bisa kita lihat disini, sistem distribusi apapun tidak akan berjalan lancar kalau semua yang terlibat tidak berkomitmen untuk kepentingan bersama, mulai dari ujung atas sampai ujung bawah. Kalau ditelusuri lagi ujung ujungnya adalah political goodwill dari pemerintah.

Yang dibutuhkan oleh kaum tani kita adalah ketersediaan dan keterjangkauan. Biarpun pak mantri urusan pertanian bilang harga pupuk sudah disubsidi sampai harga ecerannya sangat murah, tapi pupuknya sendiri tidak ada karena masih ditimbun oleh para setan desa menunggu harga pupuk naik lagi. Sebaliknya juga begitu, biarpun pemerintah bilang akan menambah stok pupuk sekian ribu ton, tapi harga eceran yang sampai ke petani begitu tingginya sehingga tidak terbeli. Kedua alternatif tadi efeknya sama : kaum tani semakin tertindas.

Apa yang kita bisa lakukan untuk masalah ini? Apa yang bisa kita lakukan untuk menolong kaum tani? Apa saja selain menunggu ada partai yang peduli pada kaum tani, judulnya apapun semua partai sama saja, hanya bagus di kampanye tapi tidak ada karya nyata nya. Lihat saja partai yang mengiklankan diri di layar tv, yang konon peduli nasib kaum tani, kemana mereka saat pupuk langka dan petani terhimpit? Kalau memang benar mereka berniat peduli pada kaum tani, setidaknya saat kampanye seperti ini membantu distribusi pupuk ke petani level end user, maka citra mereka akan bagus di mata petani. Tapi mana? Kita tidak bisa berharap pada mereka...karena saat mereka naik ke pemerintahan, kelakuannya akan sama saja dengan yang lain.


Lord Acton : power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely

No comments: