Tuesday, February 5, 2008

matinya seorang jendral

Ketika seorang jendral yang kebetulan mantan presiden mati, serentak media indonesia memblow up berita nya sebagai ‘hal yang cukup mengejutkan’. Hahah, untuk seorang yang sudah sangat tua dan keluar masuk rumah sakit, yang kebetulan dokter yang menangani juga cespleng sehingga hidupnya bisa dipanjangkan sedikit lagi, berita itu saya anggap tidak seberapa mengejutkan. Coba kalau dirawat di bangsal kelas 3 rumah sakit kabupaten, bangsal yang biasa digunakan pemakai askeskin, maka jendral itu pasti sudah mati sejak pertama kali masuk rumah sakit.

Hari hari setelah itu, segenap media kita seolah menjadi panggung dagelan yang sama sekali tidak lucu. Laporan pandangan mata suasana di rumah sakit, jalanan jalur antara rumah sakit ke rumah, sekitar rumah, bandara halim, sampai ke tempat pembaringan terakhir di karanganyar, silih berganti mengisi slot slot acara tivi lokal kita. Tayangan berita –yang menjadi faktor satu satunya tivi indonesia layak ditonton- penuh diisi liputan tentang kondisi kesehatan terakhir, pernyataan resmi yang kata katanya nggak jelas karena ngomong sambil misek misek dari anak sulung almarhum, suasana karanganyar yang mendadak hiruk pikuk, suasana cendana yang sejak 1998 sudah jarang masuk tivi, sampai ke upacara penguburan ala pahlawan bangsa. Begitu pula ke acara acara dadakan yang menampilkan biografi sang jendral. Bahkan sampai acara gak mutu macam infotainment pun ikut ikutan latah membahas tentang sang jendral dan keluarga yang ditinggalkannya, termasuk sinden dari banyumas yang dikawini oleh salah satu anak sang jendral, mendadak tampil sebagai bagian dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Ironis, tayangan yang biasanya hanya membahas bintang sinetron yang ganti pacar atau jerawatnya baru meletus atau anjingnya baru manicure, mencoba membahas sejarah bangsa Indonesia yang njlimet.

Apa yang terjadi kemudian adalah kebosanan total dalam melihat televisi. Isinya semua sama (yah, bukan hal baru juga sebenarnya). Tentang prestasi sang jendral selama berkuasa, tentang bagaimana hebatnya pak jendral semasa perjuangan, tentang perjuangan pak jendral dari kecilnya angon kebo sampai akhirnya mampu menggeser kekuasaan bung karno. Semua ingatan tentang penderitaan eks tapol dan anak anaknya yang seolah dianak tirikan oleh masyarakat, para keturunan tionghoa yang dicerabut akar budayanya dengan SKBRI, para jamaah pengajian amir biki di priok, para petani dan buruh di desa yang dibantai karena tuduhan ikut PKI, masyarakat aceh era DOM, bahkan akhirnya tentang penderitaan bung karno sang proklamator yang meninggal dalam keterasingan, dalam kemiskinan, dalam perawatan dokter hewan selama beliau dirawat di istana batutulis, semuanya seolah dilupakan begitu saja.

Inilah contoh yang benar benar pas dari teori proyeksi simulatif media yang dikemukakan oleh Baudrillard. Masyarakat terus menerus disiram informasi dari satu sudut pandang, yaitu tentang kehebatan pak jendral ini. Masyarakat digiring kepada satu versi kebenaran, yaitu pak jendral ini orang hebat tanpa cela.

adili suharto


Kebrutalan kapitalis media tampak lagi, serentak menjadikan kematian seorang mantan presiden sebagai komoditas hiburan, serentak menbuat realitas semu tentang betapa hebatnya mantan presiden ini, disaat yang sama serentak melupakan sejarah kepedihan yang pernah dialami bangsa ini. Seperti yang ditulis di catatan minggu harian kompas tanggal 3 februari 2008, media televisi berikut anak kandungnya yang beringatan pendek mencoba merespons suatu perjalanan sejarah bangsa yang panjang dan rumit.

Terima kasih pak jendral HM Suhartow, atas jasa jasamu yang teramat besar, sehingga pada hari kematianmu dan seterusnya, hampir seluruh media indonesia serentak (semangkin ) menjadi tempat sampah.