Thursday, February 1, 2007

Matikan TV mu, kawan

Apakah kamu juga merasakan hal yang sama denganku? Bahwa tv sebagai salah satu media massa, sudah semakin sulit dihilangkan dari kehidupan kita? Bahwa tv yang seharusnya jadi salah satu sarana untuk kita mendapatkan informasi yang cepat, real time, dan akurat (more less gitu lah), semakin lama semangkin melenceng dari fungsinya yang utama. Tv menurutku punya 2 fungsi pokok, yaitu sebagai sumber informasi dan sebagai sumber hiburan, tapi entah kenapa tv di negeri ini 98% isinya hiburaaannnn thok, baru sisanya sebagai sumber informasi. Kenapa bisa begini?






Mentalitas kebanyakan pemirsa tv kita sejak muda sudah dihancurkan sejak awal oleh barisan kontra revolusioner perusak mental bangsa, siapa mereka?

(1)Sekumpulan imigran india yang berkongsi mendirikan rumah produksi sinetron, ya sinetron. Kawan, kamu tentu tahu apa saja isi sinetron yang jumlahnya ribuan itu…ya, antara pertunjukan hedonisme kekayaan berlebihan, cerita sok religius tapi sesungguhnya menyesatkan, kisah cinta underage, kisah monster imajiner melawan kiai, pertunjukan orang orang tampan dan cantik, dan jangan lupa kisah kisah hantu baik yang urban legend maupun yang murni isapan jempol kaki. Itu semua membuat kaum muda kita hanya bisa bermimpi jadi seperti tokoh dalam sinetron itu, karena pembuat sinetron sinetron itu berhasil menancapkan image pada benak kaum muda kita bahwa hidup yang sempurna itu seperti yang seperti di sinetron. Kaya, cantik/ganteng, jadi idola di sekolah, lalu bercinta di usia sekolah (ini kan budaya barat, dengan sukses telah diimpor kesini, dan dengan sukses pula ditiru mentah mentah oleh kaum muda kita).

(2)produser infotainment, acara acara berkemasan seperti news, biasanya presenternya sepasang pria dan wanita, tapi prianya hampir selalu ke banci bancian, isinya tak lebih dari membuka aib orang, rahasia keluarga, permasalahan perkawinan, dan yang terakhir malah ada infotainment khusus selebritis anak dan anak selebritis (c’moon…apa yang mau dibahas dari anak kecil yang kebetulan anaknya artis? Bahwa anak anak itu sudah bisa jalan? Sudah bisa ngoceh? Atau sudah bisa nungging? Bukankah seluruh anak normal juga begitu). Ini juga berperan besar merusak mental bangsa, penonton acara ini akan jadi penggosip hebat, tidak henti hentinya membicarakan aib orang lain. Awalnya hanya membicarakan aib artis, lama kelamaan pasti merembet juga ke aib teman sendiri, bahkan aib keluarga. Kegiatan gosip menggosip seperti ini juga sangat kontra produktif. Apa yang akan kita dapatkan dengan rajin menggosip?

(3)produser acara acara yang mengeksploitir kaum miskin. Dari mulai yang penyiarnya berbaju kiai lalu akan membayari seorang miskin ibukota untuk pulang kampung dengan syarat tertentu yang mirip lomba tujuh belasan, atau yang tiba tiba memberi sejumlah besar uang kepada orang miskin yang mungkin belum pernah lihat uang sebanyak itu, lalu disuruh lari lari membelanjakan uang itu dalam waktu tertentu, atau juga yang membayari seorang miskin untuk jalan jalan ke bali lalu ditayangkanlah kelucuan kelucuan yang diakibatkan oleh karena orang itu belum pernah menikmati pelayanan dan fasilitas hotel luks yang tidak akan mungkin terjangkau mereka pada keadaan normal. Acara seperti apalagi yang begitu mengeksploitir kaum marginal sedemikian rupa? Maka jika ada orang yang sampai terharu juga waktu melihat kaum miskin itu menangis terharu menerima hadiah uang itu, orang itu sudah membodohi diri sendiri, sama seperti orang yang terharu melihat tokoh utama topeng monyet (ya monyetnya itu) diberi pisang raja yang enak satu sisir, padahal beberapa detik sebelumnya monyet itu begitu disiksa fisik dan mental, dijadikan bahan tertawaan segala.” Tapi kan itu orang miskinnya sendiri yang mau jadi obyek tertawaan dan mau menjalani aturan main mirip lomba tujuh belasan itu?”…salah besar kalau kamu berpikir seperti itu. Orang orang miskin itu memang harus mau karena mereka butuh uang itu, mereka butuh uang itu untuk tetap bertahan, untuk sedikit meningkatkan kadar gizi pada makanan anak anak mereka, atau untuk melepaskan diri dari jeratan kota jakarta agar bisa kembali ke tengah keluarganya di kampung. Jadi sebenarnya kaum kaum marginal ini tetap deserve the gift WITHOUT the humiliation. Kalaupun ada orang miskin yang masih mempertahankan harga dirinya, menolak pemberian uang ini karena tidak mau dipermalukan, maka pasti orang ini tidak akan masuk tv. Dan kita tidak pernah tahu itu.

3 butir itulah yang sangat mengganggu saya sebagai penonton tv juga. Acara acara seperti yang saya tulis tadi itu adalah acara acara yang menjadi konsumsi anak anak muda generasi penerus bangsa, ibu ibu rumah tangga, dan pembantu rumah tangga serta baby sitter. Padahal justru tipe penonton penonton itu tadi adalah elemen penting kemajuan bangsa. Kaum muda penerus bangsa, ibu rumah tangga sebagai bagian dari orang tua yang punya kewajiban untuk mendidik anak anaknya agar jadi anak yang berguna, mbak mbak pembantu yang membantu peranan orang tua…bukankah mereka adalah elemen penting? Kalau elemen pentingnya digerogoti, apa jadinya masa depan bangsa ini? Akan tetap selamanya jadi budak tv dan segala isinya? Jadi budak kapitalis? Maka hancurnya negara ini adalah suatu keniscayaan.

Oleh sebab itu, mari kita memilih dengan baik acara tv yang akan kita konsumsi, yang akan dikonsumsi anak anak kita. Kalau tidak mampu memilih atau memang tidak ada pilihan, mudah saja, matikan tv mu, mari kita dan anak kita bermain di luar sana, bermandi cahaya matahari dan rembulan, menikmati media informasi ciptaan tuhan, alam semesta ini…mari!

1 comment:

Anonymous said...

Setuju 100% dengan isi artikelnya.
Celakanya kalau pihak teve dan rumah produksinya ditanya, mengapa mereka menayangkan hal-hal semacam itu? Jawab mereka: Selera pasar mendikte demikian.
Omong kosong. Ini namanya debat ayam vs telur. Karena pasar hanya disodori acara macam itu, ya otomatis pasar akan menerima.
Sebenarnya bukan kebodohan dan selera rendah masyarakat kita yang terungkap di sini, melainkan kebodohan dan (terutama) kemalasan insan pertelevisian negeri ini. Saya menyukai film tema fantasy dan science fiction, tapi kalau disajikan dengan vulgar dan dengan alur cerita idiotik, tentu saja saya akan menghindarinya. Lihatlah semua sinetron yang tayang di teve. Dari semua unsur babak belur.
Saya ada tantangan: coba uraikan kekhasan karakter sinetron yang memiliki genre sama. Dijamin gak bakal menemukan yang benar-benar unik dan memiliki kedalaman. Terusterang saya mungkin tidak pernah menonton suatu episode sinetron apapun dengan sengaja, apalagi sampai selesai.

Tapi bukan berarti saya anti seratus persen dengan televisi. Beberapa tema selalu saya tonton:
- acara yang memperkenalkan kekhasan alam dan budaya indonesia.
- acara yang menampilkan perangai ceria anak-anak dari penjuru indonesia
- acara yang memperkenalkan suatu yang khas, misalnya orang yang memiliki perhatian khusus terhadap alam, kreativitas individu/kelompok dalam menyiasati kehidupannya, termasuk pula beberapa acara yang menyajikan liputan makanan yang unik (bukan pertandingan koki hotel yang masaknya rumit-rumit, itu aku gak suka).

Sedihnya, acara-acara dialog yang semestinya menjadi sumber bernas akan informasi dan ilmu yang terolah dengan matang (karena melibatkan pakar dibidangnya) gagal membangkitkan seleraku. Harapan saya untuk melihat perang intelek dengan argumen-argumen yang ilmiah dan jitu, pupus ketika kusadari kalau yang ditampilkan hampir semua hanyalah perdebatan antara kusir delman dengan kusir gerobak. Belum lagi pihak moderator yang kadang tidak netral atau malah menjaukan pertanyaan remeh-temeh sehigga diskusi berjalan di tempat sampai akhir acara...