Tuesday, April 17, 2007

elegi bagi para teroris

Sudah dua tahun telah berlalu sejak Imam Samudera bersama kawan-kawannya meluluh-lantakkan Legian, Bali. Setiap dikembalikan kepada ingatan tersebut, banyak yang marah, tentu saja. Belum kemudian disusul oleh pengeboman hotel Marriot, Jakarta. Setahun sebelum bom meledak di Legian, menara kembar WTC di New York dihantam oleh dua buah pesawat sipil hingga lebur menjadi puing.
Tiga tahun lagi ke belakang, Ted Kaczynski ditangkap dan diajukan ke pengadilan Amerika karena kampanye bomnya, sang Unabomber. Melihat pada Imam Samudera, para insurgen Palestina dalam bom bunuh diri di Israel, dan Kaczynski, ada semacam garis merah dalam
evaluasi kampanye bom yang mereka semua lakukan: kekerasan dengan sebuah keyakinan perlawanan terhadap kekerasan sistem kapitalisme.

Penggunaan kekerasan bukanlah sebuah taktik baru dalam sejarah revolusioner dunia, termasuk pembentukan organisasi-organisasi teroris. Tak mudah memang melawan sistem kapitalisme yang terlalu hebat ini dan tak heran saat seringkali seseorang memilih taktik terorisme sebagai taktik perlawanannya. Dan dengan demikian kita dibawa kepada pertanyaan tentang kekerasan itu sendiri, atau bahkan juga kekerasan insureksioner apabila kita meminjam
istilah dari Kaczynski dalam the Unabomber Manifesto-nya.

Poin yang diambil dalam kekerasan insureksioner adalah pemutusan sejarah kekerasan yang secara virtual jelas mendefinisikan tata masyarakat modern. Ia hadir sebagai sebuah oposisi terhadap kekerasan reaksioner atau juga revolusioner yang memperpanjang daftar pembantaian dalam sejarah manusia. Dalam taraf filosofisnya, kekerasan insureksioner memiliki tujuan tidak lebih sebagai sebuah realisasi dan transendensi sejarah. Kekerasan ini hadir bukan untuk mengagungkan sejarah, melainkan untuk menguburnya. Kekerasan ini adalah sebuah bentuk penolakan dalam bentuknya yang paling murni. Ia adalah seorang budak yang membunuh majikannya dan kemudian membakar seluruh milik sang majikan hingga rata dengan tanah; ia tidak mengganti satu majikan dengan majikan lainnya ataupun juga menjadi majikan baru. Ia menghancurkan sistem dengan totalitasnya, yang memberikan arti lebih pada terminologi majikan, budak, kerja dan kepemilikan.
Kekerasan insureksioner bukanlah juga hal baru dalam sejarah. Ia dapat ditemukan dalam Komune Paris 1871;
sebuah kampanye pemboman fin de siècle dalam teroris-anarkis Perancis, Russia, Spanyol dan Itali; kelompok Los Pistoleros dalam tubuh CNT/FAI Spanyol; para petani Makhnovchina di bawah Nestor Makhno, para pemberontak Kronstadt,Czolgosz, Alexander Berkman, insurgen Hongaria tahun 1956, penghancuran monumen memorial polisi mengenai Haymarket dengan dinamit oleh the Weatherman, Poll Tax Riot tahun 1990 di Inggris, semua menjadi contoh nyata tentang kekerasan insureksioner.
Dalam praksis, ia hadir dalam berbagai bentuknya. Beberapa lebih efektif, beberapa berbasiskan massa, beberapa hanya dilakukan oleh individu, beberapa jauh lebih beresiko daripada yang lain. Setiap bentuk memiliki kelebihan dan kekurangan, dan hanya orang-orang yang tak mau berpikir sajalah yang tidak sadar akan hal tersebut.
Kekerasan yang berbasiskan massa jelas merupakan yang paling efektif dan efisien, beresiko lebih kecil bagi tiap individu, dan tentu saja, menjadi bentuk paling hebat dari kekerasan insureksioner. Individu seorang diri, tentu saja dapat melakukannya apabila tak seorangpun merasa mampu untuk bangkit dan mengambil langkah insureksioner.
Intinya simpel, seseorang harus melakukannya saat diperlukan dan saat ia mampu, baik apabila kekerasan itu dilakukan dalam sebuah grup kecil ataupun dalam aksi massa yang berjumlah 10 ribu orang lebih, ataupun juga hanya oleh lima orang ataupun malah seorang diri.
Lagipula apa yang dapat diharapkan saat mereka yang seharusnya berdiri karena mengerti apa yang terjadi, sama sekali tak mau membuka mulut bahkan untuk mengatakan tidak sekalipun atas kesewenangan yang terjadi dihadapan mereka? Apa yang diharapkan akan terjadi saat mereka yang tahu memilih hanya duduk di belakang meja dan kacamatanya, bersembunyi dalam kenyamanannya dengan dalih bahwa kaum intelektual cukup hanya sekedar menganalisa.
Memang tak mudah untuk mengatakan seseorang adalah teroris ataupun bukan saat label teroris itu sendiri selalu diberikan dengan mudah oleh status quo terhadap siapapun yang berani menentang sistemnya. Dan karena inti masalahnya bukan berhenti disitu, melainkan pada apa-apa yang melatar belakangi aksi kekerasan itu sendiri. Ada sebuah perbedaan besar bagi kita untuk memberikan dukungan kritikal ataupun celaan yang kritikal terhadap aksiaksi
yang depresif tersebut. Selalu tak pernah menjadi efektif saat setiap taktik perlawanan dikorbankan–karena dianggap tidak sempurna–demi sebuah imaji perlawanan yang sempurna. Saat mereka yang mengaku progresif memang tidak seharusnya merengkuh aksi-aksi yang tidak cocok dengan standar taktik dan strategi mereka, tetapi adalah sesuatu yang keterlaluan apabila lantas para progresif tersebut mengutuk mereka yang telah memilih untuk melakukan aksi, karena aksinya tak cocok dengan standar mereka. Mereka yang terlibat dalam kekerasan
insureksioner akan selalu memiliki pemahaman yang terbatas tentang situasi historis. Mereka akan selalu membuat kesalahan. Mereka akan selalu menghadapi tentangan yang besar.


Akhir kata, bukan maksud artikel ini untuk membenarkan tindakan-tindakan teror para teroris tersebut, melainkan untuk menekankan bahwa pertanyaan atas kekerasan seharusnya dialamatkan dengan pengertian penuh tentang apa yang melatar belakanginya. Radikal ataupun konservatif, tak seorangpun dapat melarikan diri dari keterlibatannya dalam kekerasan sosial. Karena melarikan diri dari kenyataan yang melatar belakangi aksi-aksi depresif tersebut jelas berarti bahwa kita menyerah tanpa melakukan sebuah perlawananpun juga.


Dibajak dari jurnal ODISSEY#6 JURNAL KONSPIRASI
KONTRA-KULTURA
SEPTEMBER 2004